Kamis, 02 Oktober 2014

Mencicipi Tabula Rasa

Kapan lagi lihat orang Papua masak makanan Padang?

Akhirnya dapat lagi satu film Indonesia yang tergolong keren. Setelah beberapa waktu lalu agak dikecewakan sama Viva JKT48 dan kembali naik dengan harapan yang lebih tinggi setelah menonton Aku, Kau dan KUA, saya kembali menemukan sebuah film Indonesia yang "ringan" dan "mudah dicerna", sesuai untuk segala usia, Tabula Rasa.

Setelah melihat beberapa cuitan soal film lokal ini, saya memutuskan untuk menunggu, menunggu dan menunggu sampai tanggal 28 September, dimana untuk pertama kalinya saya juga "menajajal" bioskop pendatang baru di Indonesia, Cinemaxx. Saat sempat salah keluar halte (di Semanggi), saya sendiri khawatir kalau saya telat dan ketinggalan bagian awal film ini....Untung saja hal itu tak terjadi.

Ceritanya cukup simpel, seorang pemuda dari Papua bernama Hans yang diperankan seorang aktor pendatang baru, Jimmy Kobogau, mendapat tawaran untuk bermain sepakbola di Jakarta. Namun ia gagal dan terpaksa menjadi gelandangan dan bekerja serabutan. Ia sempat berusaha untuk bunuh diri dengan meloncat ke rel kereta, namun ia gagal karena terjatuh ke jembatan dimana dia akan melompat ke rel tersebut.

Ia kemudian diselamatkan oleh Emak (yang diperankan oleh Dewi Irawan), yang membawanya ke restoran Padang yang ia kelola. Seiring waktu, karena merasa kasihan dengan Hans yang tak kunjung pergi dari restoran tersebut, Emak pun mempekerjakan Hans sebagai tukang bersih-bersih restoran dan membantunya membawa barang belanjaan.

Setelah waktu berjalan, Hans pun diajari bagaimana membuat masakan Padang oleh Emak. Namun salah satu karyawan restoran, Parmanto, memutuskan untuk keluar dari restoran tersebut karena ia merasa posisinya tergeser oleh Hans, dan ia kemudian bekerja di restoran Padang yang baru dibuka di dekat restoran milik Emak.

Film ini pun bisa dibilang "tenang". Tidak banyak konflik yang sampai memperlihatkan adegan adu jotos, mungkin paling banyak adu mulut dalam debat saja.

Bicara soal makanan, mungkin film ini dapat membuat Anda merasa lapar. Visualisasi rendang, gulai kepala kakap dan makanan-makanan lainnya sungguh memesona, menggoda selera makan Anda dan ingin mencoba masakan Padang setelah menonton film ini. Sungguh. Dan disini Anda pun diperlihatkan soal cara memasak rendang, yang ternyata saya sendiri baru tahu, harus diaduk selama 4 jam secara perlahan-lahan dengan tungku kayu di sebuah kuali besar.

Konflik terbesar di film ini terjadi di klimaksnya. Emak mendapat pesanan besar untuk pesta pernikahan, namun ia memaksakan tubuhnya saat memasak untuk pesanan tersebut meski ia sedang mengalami sakit. Hans pun terkejut saat melihat Emak tergeletak lemas dan segera membawanya ke rumah sakit, dan kemudian Parmanto datang untuk membantunya. Mungkin sulit untuk menyangka hal tersebut untuk terjadi.

Setelah kejadian tersebut dan Emak kembali sehat, Hans pun pergi keluar dari restoran tersebut untuk mencari pengalaman lain dalam hidupnya. Tamat.

Jujur, saya kurang suka film yang punya open ending seperti ini, namun saya sudah cukup terpesona dengan ringan dan nikmatnya film ini, saya mungkin memaafkan "kesalahan" dari film Tabula Rasa ini.

8/10